JAKARTA, KOMPAS.com - Pemilihan umum kepala daerah
di DKI Jakarta menunjukkan kian matang dan terkonsolidasinya perilaku
berdemokrasi di Ibu Kota. Kendati perebutan suara sangat sengit, bahkan
bertiup isu SARA, pemilihan kepala daerah bisa berakhir damai.
Masing-masing dapat mengakui kemenangan dan kekalahan.
”Pemilihan
gubernur DKI ini adalah cermin bahwa pemilu telah bergeser dari semula
sangat prosedural menjadi lebih ke arah substansial. Memang belum
terlalu substansial, tetapi arahnya sudah menuju ke sana,” kata Sukardi
Rinakit, peneliti senior Soegeng Sarjadi Syndicate, akhir pekan lalu
kepada Kompas.
Hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei
menunjukkan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Basuki)
mengungguli petahana Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nachrowi), yaitu
52,97 persen dan 47,03 persen. ”Hasil itu menjadi bukti bahwa moda
produksi, kapital, tidak lagi memengaruhi moda interpretasi atau
referensi dalam politik,” ujar Sukardi.
Menurut Sukardi, warga Jakarta menjatuhkan pilihan kepada figur yang dinilai sederhana, bekerja, jujur, dan memasyarakat.
Sukardi
yakin arah politik di Jakarta itu bakal berkembang ke seluruh
Indonesia. ”Secara nasional, nantinya pasti akan bergerak seperti model
di Jakarta. Isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) tidak lagi
laku meski di beberapa tempat masih akan berpengaruh. Pemilih akan
semakin matang dalam berdemokrasi,” ujarnya.
Keteladanan elite
Pilkada
DKI merupakan bentuk pembelajaran demokrasi yang baik. Hal ini
terlihat dari sikap sportif para kandidat menyikapi hasil hitung cepat.
”Ini bentuk keteladanan elite politik yang berani mengucapkan selamat
dan menerima hasil penghitungan suara meskipun baru sebatas hitung
cepat,” kata anggota Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta, Sumarno.
Dia
mengakui persaingan yang terjadi sangat sengit. Hal ini terlihat dari
isu SARA yang banyak diembuskan serta kampanye hitam. Belum lagi
berbagai pesan yang beredar, seolah Jakarta akan rusuh apabila calon
tertentu yang menang. Namun, setelah hitung cepat, kondisi Jakarta masih
aman.
Partai melakukan evaluasi
Pilkada
DKI memaksa partai politik untuk mengevaluasi diri. Pengamat politik J
Kristiadi berpendapat, dari Pilkada DKI ini terlihat tren bahwa banyak
partai politik gagal total melakukan pengaderan. Mesin parpol juga
rapuh dan tidak berjalan meski sudah diinstruksikan pemimpin parpol.
Penanaman
ideologi pada kader parpol juga akhirnya terlihat masih lemah. Kader
cenderung bergerak maksimal hanya menjelang pemilu legislatif karena
lebih didorong kepentingan dan ambisi untuk berkuasa. ”Kalau perlu
saling sikut antarkader dalam satu parpol,” katanya.
Sementara
itu, ideologi parpol untuk memperjuangkan kepentingan dan aspirasi
masyarakat menjadi luntur. ”Namun, ada kekuatan lain yang masih dapat
mengoreksi parpol, yaitu kekuatan rakyat dan masyarakat madani,” kata
Kristiadi.
Kondisi ini pula yang terlihat dalam Pilkada DKI.
Kristiadi yakin, jika parpol tidak lagi aspiratif, parpol akan semakin
ditinggalkan. ”Ini momen memperbaiki peradaban parpol,” katanya.
Parpol, figur, relawan
Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) bersama Partai Gerakan
Indonesia Raya (Gerindra) yang mengusung Jokowi-Basuki mengakui
perlunya sinergi partai dengan rakyat.
Ketua Bidang Politik dan
Hubungan Antarlembaga DPP PDI-P Puan Maharani mengakui, kemenangan
Jokowi tak terlepas dari sinergi antara mesin partai yang solid, figur
calon yang bersih dan membumi, serta dukungan relawan dan masyarakat
luas.
”Harus saya katakan, mesin partai berjalan dengan baik.
Kami bisa bergotong royong dan bersinergi, mulai dari legislatif, mesin
partai di kepengurusan, hingga kepala daerah. Semua bergotong royong
untuk memenangi Pilkada DKI,” kata Puan.
Jokowi juga merupakan
kader PDI-P yang memiliki figur kuat dan membumi. Jokowi dinilai
berhasil membuat perubahan di Solo. Harapan dan dukungan relawan dan
masyarakat luas juga sangat besar sehingga Jokowi- Basuki bisa
memenangi pilkada.
Jokowi fenomena khusus
Pilkada
DKI Jakarta memiliki nilai tersendiri bagi Partai Demokrat yang,
bersama Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan
Pembangunan, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan
Partai Hanura, mengusung pasangan Foke-Nachrowi.
Wakil Sekretaris
Jenderal DPP Partai Demokrat Saan Mustopa menilai fenomena Jokowi ini
merupakan fenomena sangat khusus. ”Dari seseorang yang waktu itu belum
terlalu populer, dalam waktu tidak lama Jokowi tampil sebagai orang
yang sangat populer dengan elektabilitas tinggi,” ujarnya.
Menurut
Saan, Partai Demokrat tidak mendukung Jokowi karena pada awal
pencalonan gubernur DKI, popularitas Jokowi tidak tinggi. ”Waktu itu,
popularitas Fauzi Bowo jauh mengungguli lawan-lawannya,” katanya.
Saan
mengakui faktor figur berperan penting. Dia sebaliknya membantah
bahwa mesin politik partai tidak bekerja efektif. Menurut Saan,
fenomena figur yang serupa terjadi pada diri Susilo Bambang Yudhoyono.
Ketika itu, selain memenangi pemilihan presiden dua periode, figur
Yudhoyono mampu mengantar Partai Demokrat mendulang suara besar dalam
Pemilu 2004 dan 2009.
Pengajar politik Universitas Gadjah Mada,
Ari Dwipayana, bahkan melihat posisi Jokowi saat ini bisa
disebandingkan dengan posisi Megawati Soekarnoputri tahun 1999, yakni
menjadi common denominator bagi aliansi lintas kelas yang luas.
Jokowi
menjadi simbol pemimpin alternatif, sejalan dengan keinginan
masyarakat akan perubahan kepemimpinan DKI. Namun, Ari mengingatkan,
dukungan semacam itu bisa sangat mudah berubah ketika ada
ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan nantinya. ”Aliansi seperti
itu longgar dan cair dan bisa cepat swing kalau terjadi ketidakpuasan
pada Jokowi,” katanya.
Masa depan kepemimpinan Jokowi di Jakarta
nanti, menurut Ari, pada akhirnya akan bergantung pada kapasitas
Jokowi untuk mentransformasikan ekspektasi perubahan ke dalam
kerja-kerja politik di pemerintahan.