Senin, 24 September 2012






JAKARTA, KOMPAS.com - Pemilihan umum kepala daerah di DKI Jakarta menunjukkan kian matang dan terkonsolidasinya perilaku berdemokrasi di Ibu Kota. Kendati perebutan suara sangat sengit, bahkan bertiup isu SARA, pemilihan kepala daerah bisa berakhir damai. Masing-masing dapat mengakui kemenangan dan kekalahan.
”Pemilihan gubernur DKI ini adalah cermin bahwa pemilu telah bergeser dari semula sangat prosedural menjadi lebih ke arah substansial. Memang belum terlalu substansial, tetapi arahnya sudah menuju ke sana,” kata Sukardi Rinakit, peneliti senior Soegeng Sarjadi Syndicate, akhir pekan lalu kepada Kompas.
Hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei menunjukkan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Basuki) mengungguli petahana Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nachrowi), yaitu 52,97 persen dan 47,03 persen. ”Hasil itu menjadi bukti bahwa moda produksi, kapital, tidak lagi memengaruhi moda interpretasi atau referensi dalam politik,” ujar Sukardi.
Menurut Sukardi, warga Jakarta menjatuhkan pilihan kepada figur yang dinilai sederhana, bekerja, jujur, dan memasyarakat.
Sukardi yakin arah politik di Jakarta itu bakal berkembang ke seluruh Indonesia. ”Secara nasional, nantinya pasti akan bergerak seperti model di Jakarta. Isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) tidak lagi laku meski di beberapa tempat masih akan berpengaruh. Pemilih akan semakin matang dalam berdemokrasi,” ujarnya.
Keteladanan elite
Pilkada DKI merupakan bentuk pembelajaran demokrasi yang baik. Hal ini terlihat dari sikap sportif para kandidat menyikapi hasil hitung cepat. ”Ini bentuk keteladanan elite politik yang berani mengucapkan selamat dan menerima hasil penghitungan suara meskipun baru sebatas hitung cepat,” kata anggota Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta, Sumarno.
Dia mengakui persaingan yang terjadi sangat sengit. Hal ini terlihat dari isu SARA yang banyak diembuskan serta kampanye hitam. Belum lagi berbagai pesan yang beredar, seolah Jakarta akan rusuh apabila calon tertentu yang menang. Namun, setelah hitung cepat, kondisi Jakarta masih aman.
Partai melakukan evaluasi
Pilkada DKI memaksa partai politik untuk mengevaluasi diri. Pengamat politik J Kristiadi berpendapat, dari Pilkada DKI ini terlihat tren bahwa banyak partai politik gagal total melakukan pengaderan. Mesin parpol juga rapuh dan tidak berjalan meski sudah diinstruksikan pemimpin parpol.
Penanaman ideologi pada kader parpol juga akhirnya terlihat masih lemah. Kader cenderung bergerak maksimal hanya menjelang pemilu legislatif karena lebih didorong kepentingan dan ambisi untuk berkuasa. ”Kalau perlu saling sikut antarkader dalam satu parpol,” katanya.
Sementara itu, ideologi parpol untuk memperjuangkan kepentingan dan aspirasi masyarakat menjadi luntur. ”Namun, ada kekuatan lain yang masih dapat mengoreksi parpol, yaitu kekuatan rakyat dan masyarakat madani,” kata Kristiadi.
Kondisi ini pula yang terlihat dalam Pilkada DKI. Kristiadi yakin, jika parpol tidak lagi aspiratif, parpol akan semakin ditinggalkan. ”Ini momen memperbaiki peradaban parpol,” katanya.
Parpol, figur, relawan
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) bersama Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang mengusung Jokowi-Basuki mengakui perlunya sinergi partai dengan rakyat.
Ketua Bidang Politik dan Hubungan Antarlembaga DPP PDI-P Puan Maharani mengakui, kemenangan Jokowi tak terlepas dari sinergi antara mesin partai yang solid, figur calon yang bersih dan membumi, serta dukungan relawan dan masyarakat luas.
”Harus saya katakan, mesin partai berjalan dengan baik. Kami bisa bergotong royong dan bersinergi, mulai dari legislatif, mesin partai di kepengurusan, hingga kepala daerah. Semua bergotong royong untuk memenangi Pilkada DKI,” kata Puan.
Jokowi juga merupakan kader PDI-P yang memiliki figur kuat dan membumi. Jokowi dinilai berhasil membuat perubahan di Solo. Harapan dan dukungan relawan dan masyarakat luas juga sangat besar sehingga Jokowi- Basuki bisa memenangi pilkada.
Jokowi fenomena khusus
Pilkada DKI Jakarta memiliki nilai tersendiri bagi Partai Demokrat yang, bersama Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Hanura, mengusung pasangan Foke-Nachrowi.
Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat Saan Mustopa menilai fenomena Jokowi ini merupakan fenomena sangat khusus. ”Dari seseorang yang waktu itu belum terlalu populer, dalam waktu tidak lama Jokowi tampil sebagai orang yang sangat populer dengan elektabilitas tinggi,” ujarnya.
Menurut Saan, Partai Demokrat tidak mendukung Jokowi karena pada awal pencalonan gubernur DKI, popularitas Jokowi tidak tinggi. ”Waktu itu, popularitas Fauzi Bowo jauh mengungguli lawan-lawannya,” katanya.
Saan mengakui faktor figur berperan penting. Dia sebaliknya membantah bahwa mesin politik partai tidak bekerja efektif. Menurut Saan, fenomena figur yang serupa terjadi pada diri Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika itu, selain memenangi pemilihan presiden dua periode, figur Yudhoyono mampu mengantar Partai Demokrat mendulang suara besar dalam Pemilu 2004 dan 2009.
Pengajar politik Universitas Gadjah Mada, Ari Dwipayana, bahkan melihat posisi Jokowi saat ini bisa disebandingkan dengan posisi Megawati Soekarnoputri tahun 1999, yakni menjadi common denominator bagi aliansi lintas kelas yang luas.
Jokowi menjadi simbol pemimpin alternatif, sejalan dengan keinginan masyarakat akan perubahan kepemimpinan DKI. Namun, Ari mengingatkan, dukungan semacam itu bisa sangat mudah berubah ketika ada ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan nantinya. ”Aliansi seperti itu longgar dan cair dan bisa cepat swing kalau terjadi ketidakpuasan pada Jokowi,” katanya.
Masa depan kepemimpinan Jokowi di Jakarta nanti, menurut Ari, pada akhirnya akan bergantung pada kapasitas Jokowi untuk mentransformasikan ekspektasi perubahan ke dalam kerja-kerja politik di pemerintahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar